Jumat, 18 Januari 2013

artikel keperawatan dan umum



Artikel Keperawatan dan Umum
Fraktur (patah tulang) yang sering terjadi pada lansia
poko rantau 06 oktober 2011

           
Fraktur merupakan salah satu masalah musculoskeletal (tulang dan otot) yang sering terjadi pada manusia lanjut usia, dan fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis dianggap yang paling menyebabkan morbiditas dan disalbilitas pada lanjut usia. Pada tulisan ini, penulis akan mencoba membahas tiga jenis fraktur berdasarkan lokasinya yang sering terjadi pada lansia yaitu (1) fraktur kompresi Vertebra, (2) fraktur panggul, dan (3) fraktur pinggul.
Fraktur ini menyebabkan sakit punggung yang merupakan gejala osteoporosis yang paling sering dijumpai. Gejala yang mungkin terjadi paling awal adalah nyeri akut pada bagian tengah sampai bagian bawah vertebra toraksika selama aktifitas harian rutin. Focus pada perawatan fraktur kompresi akut ini adalah mengurangi gejala sesegera mungkin dengan bedrest pada posisi apapun untuk memberikan kenyamanan maksimum pada klien. Relaksan untuk otot seperti panas dan analgesic juga dapat digunakan bila ada indikasi, karena penggunaan relaksan otot jangka pendek dalam jumlah sedikit dapat mengurangi spasme otot yang sering menyertai fraktur-fraktur seperti ini.
Setelah nyeri berkurang, segerakan klien untuk mencoba bangun dari tempat tidur secara perlahan dan dengan dibantu oleh perawat. Latihan dengan bantuan ini diharapkan dapat memperbaiki deformitas postural dan dapat meningkatkan tonus otot. Selain itu klien juga harus diajarkan tentang cara mencegah ketegangan punggung dengan menghindari gerakan berputar atau pergerakan yang kuat atau membungkuk secara mendadak. Tindakan yang berhubungan dengan cara mengangkat dan membawa barang-barang juga perlu dijelaskan.

Fraktur Panggul
Klien lansia biasanya mengalami cedera ini karena terjatuh. Walaupun hanya 3% dari semua fraktur adalah fraktur panggul, tipe cidera ini diperhitungkan menimbulkan 5 sampai 20 % kematian diantara lansia akibat fraktur. Fraktur panggul adalah hal yang tidak menyenangkan karena fraktur tersebut dapat juga menyebabkan cedera intraabdomen yang serius, seperti laserasi kolon, paralisis ileum, perdarahan intrapelvis, dan ruptur uretra serta kandung kemih.

Fraktur Pinggul
Hoolbrook (1984) melaporkan bahwa 1 dari 20 klien yang berusia lebih dari 65 tahun yang baru saja dirawat di rumah sakit mengelami penyembuhan dari fraktur pinggul, dan pada klien yang berasal dari panti werda, 70% tidak bertahan hidup 1 tahun, hanya sepertiga dari klien yang dapat bertahan hidup setelah mengalami fraktur pinggul dapat kembali ke gaya hidup dan tingkat kemandirian yang dapat dibandingkan dengan kondisi sebelum klien mengalami fraktur tersebut.
Antara 75 dan 80% dari semua fraktur tulang pinggul mempengaruhi wanita, dan hampir setengahnya terjadi pada seseorang yang berusia 80 tahun atau lebih. Manifestasi klinis dari fraktur tulang pinggul ini adalah rotasi eksternal, pemendekan ekstremitas yang terkena, dan nyeri berat serta nyeri tekan di lokasi fraktur.

Penatalaksanaan
Perawat harus mewaspadai faktor-faktor praoperasi dan pascaoperasi yang jika tidak dikenali dapat menjadi faktor penentu yang berdampak kurang baik terhadap klien.


Praoperasi
Perawat harus mengajarkan klien untuk melatih kaki yang tidak mengalami cidera dan kedua lengannya. Selain itu sebelum dilakukan operasi klien harus diajrakna menggunakan trapeze yang dipasangkan di atas tempat tidur dan di sisi pengaman tempa tidur yang berfungsi untuk membantunya dalam mengubah posisi, klien juga perlu mempraktikan bagaimana cara bangun dari tempat tidur dan pindah ke kursi.


Pascaoperasi
Perawat memantau tanda vital serta memantau asupan dan keluaran cairan, mengawasi aktivitas pernapasan, seperti napas dalam dan batuk, memberikan pengobatan untuk menghilangkan rasa nyeri, dan mengobservasi balutan luka terhadap tanda-tanda infeksi dan perdarahan. Sesudah dan sebelum reduksi fraktur, akan selalu ada resiko mengalami gangguan sirkulasi, sensasi, dan gerakan. Tungkai klien tetap diangkat untuk menghindari edema. Bantal pasir dapat sangat membantu untuk mempertahankan agar tungkai tidak mengalami rotasi eksterna. Untuk menurunkan kebutuhan akan penggunaan narkotika dapat menggunakan transcutaneus electrical nerve stimulator (TENS).
Untuk mencegah dislokasi prosthesis, perawat harus senantiasa menggunakan 3 bantal diantara tungkai klien ketika mengganti posisi, pertahankan bidai abductor tungkai pada klien kecuali pada saat mandi, hindari mengganti posisi klien ke sisi yang mengalami fraktur. Menahan benda/beban yang berat pada ekstremitas yang terkena fraktur tidak dapat diizinkan kecuali telah mendapatkan hasil dari bagian radiologi yang menyatakan adanya tanda-tanda penyembuhan yang adekuat, umumnya pada waktu 3 sampai 5 bulan