Selasa, 29 September 2015

cedera kepala



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat pada tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang harus menjadi perhatian adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang menderita cedera kepala.
Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat berbahaya dan membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita. Sayangnya, kendati kasus terus meningkat, namun masih banyak pihak yang belum sadar pentingnya kecepatan menolong penderita.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ).

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.      Untuk memahami anatomi fisiologi cranial
2.      Untuk memahami pengertian cedera kepala
3.      Untuk memahami tanda dan gejala cedera kepala
4.      Untuk memahami klasifikasi cedera kepala
5.      Untuk memahami etiologi cedera kepala
6.      Untuk memahami patofisiologi cedera kepala
7.      Untuk memahami prosedur diagnostic cedera kepala
8.      Untuk memahami manajement medis cedera kepala
9.      Untuk memahami pengkajian pada klien cedera kepala
10.  Menyusun diagnose keperawatan pada klien cedera kepala
11.  Menyusun intervensi keperawatan pada klien cedera kepala
12.  Menjelaskan aspek hokum pada tindakan pasien



BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Anatomi Fisiologi
Tengkorak terdiri atas delapan tulang kepala dan empat belas tulang wajah. Pada tengkorak juga terdapat tiga tulang kecil di rongga telinga medial kanan dan kiri serta tulang hioid yang menopang dasar lidah. Tulang kepala membentuk rangka otak yang membungkus dan melindungi otak, mata dan telinga. Nama beberapa di ataranya adalah os frontale, os parientale (dua), os temporale (dua), os oksipitale, Os Sfenoid dan os etmoidalemerupakan bagian dasar rangka otak dan orbit (soket) mata. Seluruh sendi pada os cranial merupakan sendi yang tidak dapat digerakkan,yang disebut sutura.
A.    Cranium atau Kalvaria
Cranium dibentuk oleh beberapa tulang yang dihubungkan satu sama lain oleh tulang bergerigi yang disebut sutura, banyaknya delapan buah dan terdiri dari 3 bagian.
a.       Kubah cranium
Terdiri dari tulang-tulang :
·         Tulang frontal
Tulang frontal membentuk dahi, langit-langit ronggga nasal, dan langit-langit orbita (kantong mata). Tulang frontal pada tahap kehidupan embrio terbentuk menjadi dua belahan yang pada masa kanak-kanak awal berfungsi dengan penuh. Tubrositas frontal adalah dua tonjolan yang berbeda ukuran dan biasanya lebih besar pada tengkorak muda. Arkus supersiliar adalah dua lengkungan yang mencuat dan menyatu secara medial oleh suatu elevasi halus yang disebut glabella. Tepi supraorbital, yang terletak di bawah lengkungan supersiliar dan membentuk tepi orbita bagian atas. Foramen supraorbital (atau takik pada beberapa tengkorak) merupakan jalan masuk arteri dan syaraf.
·         Tulang Parietal
Tulang parietal membentuk sisi dan langit-langit cranium. Yang terdiri atas sutura sagital, sutura koronal, dan sutura lamboidal. Sutura sagital adalah sutura yang menyatukan tulang parietal kiri dan kanan. Sutura koronal menyambung tulang parietal ke tulang frontal. Sutura Lamboidal menyambung tulang parietal ke tulang oksipital.
·         Tulang Oksipital
Tulang kepala belakang terletak di belakang kepala pada os oksipital, terdapat sebuah lubang cocok sekali dengan lubang yang terdapat dalam ruas tulang belakang yang disebut foramen magnum. Foramen ini menghubungkan rongga cranial dengan rongga spinal. Tulang oksipital membentuk bagian dasar dan dan bagian belakang Kranium.
·         Tulang Temporal
Membentuk dasar dan sisi cranium.
b.      Dasar tengkorak
·         Os Sfenoid (Tulang baji)
Tulang ini terdapat ditengah dasar tengkorak, bentuknya seperti kupu-kupu yang mempunyai 3 pasang sayap. Di bagian depan terdapat sebuah rongga yang disebut kavum sfenoidalis yang berhubungan dengan rongga hidung. Di bagian atasnya agak meninggi dan berbentuk seperti pelana yang disebut sela tursika yaitu tempat letaknya kelenjar buntu (hipofise).
·         Os Etmoidal (Tulang tapis)
Terletak di sebelah depan dari os sfenoidal, diantara lekuk mata, terdiri dari tulang tipis yang tegak dan mendatar. Bagian yang mendatar mempunyai lubang-lubang kecil (lempeng tapis) yaitu tempat lalunya saraf pencium ke hidung sedangkan bagian yang tegak di sebelah depannya membentuk sekat ronggga hidung. Di samping dua tulang di atas dasar tengkorak ini juga dibentuk oleh bagian tulang-tulang laing diantaranya tulang-tulang kepala belakang, tulang dahi dan tulang pelipis. Adapun bentuk dari dasar tengkorak ini tidak rata tetapi mempunyai lekukan yang terdiri dari lekukan depan, tengah, dan belakang .
c.       Temporal
 Temporal dibentuk oleh tulang pelipis (os temporal) dan sebagian dari tulang dahi, tulang ubun-ubun dan tulang baji. Tulang pelipis terdapat disebelah kiri dan kanan samping kepala dan terbagi atas 3 bagian yaitu :
·         Bagian tulang karang (Skuamosa), yang membentuk rongga-rongga yaitu rongga telinga tengah dan rongga telinga dalam.
·         Bagian tulang keras (os petrosum) yang menjorok ke bagian tulang pipi dan mempunyai taju yang disebut prosesus stiloid.
·         Bagian mastoid, terdiri dari tulang yang mempunyai lubang-lubang halus berisi udara dan mempunyai taju, bentuknya seperti puting susu yang disebut prosesus mastoid
B.     Facial Bones
Facial bones terdiri atas empat belas tulang, tulang-tulang ini tidak bersentuhan dengan otak. Tulang tersebut disatukan sutura yang tidak dapat bergerak.
a.       Tulang-tulang nasal membentuk penyangga hidung dan berartikulasi dengan septum nasal.
b.      Tulang-tulang palatum membentuk bagian posterior langit-langit mulut (langit-langit keras), bagian tulang orbital, dan bagian rongga nasal.
c.       Tulang-tulang Zigomatik (malar) membentuk tonjolan pada tulang pipi. Setiap prosesus temporal berartikulasi dengan prosesus zigomatikus pada tulang temporal.
d.      Tulang-tulang maksila membentuk rahang atas.
·         Prosesus alveolar, mengandung soket gigi bagian atas.
·         Prosesus zigomatikus, memanjang ke luar untuk bersatu dengan tepi infraorbital pada orbita. Foramen infraorbital memperforasi maksila di setiap sisi untuk mentransmisi saraf dan pembuluh darah ke wajah.
·         Prosesus palatines, membentuk bagian anterior pada langit-langit keras.
·         Sinus Maksilar, yang kosong sampai ke rongga nasal, merupakan bagian dari sinus paranasal.
e.       Tulang lakrimal, berukuran kecil dan tipis, serta terletak di antara tulang ethmoid dan maksila pada orbita. Tulang lakrimal berisi suatu celah untuk lintasa duktus lakrimal, yang mengalirkan air mata ke rongga nasal.
f.       Tulang Vomer, membentuk bagian tengah dari langit-langit keras diantara pallatum dan maksila, serta turut membentuk septum nasal.
g.      Konka nasal inferior (turbinatum)



h.      Mandibula adalah tulang rahang bagian bawah.
·         Bagian alveolar berisi soket gigi bawah.
·         Ramus mandibular yang terletak di kedua sisi rahang memiliki dua prosesus yaitu prosesus kondiloid yang berfungsi untuk artikulasi dengan tulang temporal pada fosa mandibular dan prosesus koronoid yang berfungsi sebagai tempat perlekatan otot temporal
Mandibula membentuk sendi kondiloid dengan masing-masing os temporale. Sendi lain di antara tulang wajah merupakan sutura. Maksila adalah tulang rahang atas, yang juga membentuk bagian palatum durum anterior (langit-langit). Soket akar gigi ditemukan pada maksila dan mandibula
(Scanlon, 2007).

2.2. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner & Soddarth, 2002 )
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan jalan raya ( Brunner & Suddarth, 2002 ).

2.3. Tanda dan Gejala Cedera Kepala
Tanda dan Gejala Cedera Kepala (Arief, M, Suprohaitta, 2000)
a.       Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.
b.      Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
c.       Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK
d.      Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali
e.       Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.

Tanda-tanda dan gejala ( mary digiulio dkk, keperawatan medical bedah, 2012)
a.              Sakit kepala karena trauma langsung dan atau meningkatnya tekanan intracranial
b.             Disorientasi atau perubahan kognitif
c.              Perubahan dalam berbicara
d.             Perubahan dalam gerakan motorik
e.              Mual dan muntah karena meningkatnya tekanan intracranial
f.              Ukuran pupil tidak sama-penting untuk menentukan apakah terkait dengan perubahan neurologis atau apakah pasien mempunyai ukuran pupil berbeda
g.             Berkurangnya atau tiddak adanya reaksi pupil terkait dengan kompromi neurologis
h.             Menurunya tingkat kesadaran atau hilangnya kesadaran
i.               Hilangnya ingatan (amnesia)

2.4. Klasifikasi Cedera Kepala (Suzanne C. 2001)
a.       Berdasarkan kerusakan jaringan otak
·         Kamosia serebri (geger otak) gangguan neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia retrogarde, mual, muntah, nyeri kepala.
·         Kontusio serebri (memar) gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan jaringan otak , tetapi kontinuitas jaringan masih utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit
·         Laserosio serebri, gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka, masa otak terkelupas keluar dari rongga intrakaranial.
b.      Berdasarkan berat Ringannya cedera
·         Cidera kepala ringan : jika GCS antara 13- 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat kontrusio/ hematom.
·         Cedera kepala sedang : jika nilai GCS antara 9- 12 hilang kesadaran antara 30 menit sampai dengan 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak disorientasi ringan.
·         Cedera kepala berat : jika GCS antara 3- 8 hilang kesadaran lebih dar 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema serebral.

2.5. Etiologi Cedera Kepala
a.         Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera  setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b.         Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
 ( Suzanne C. 2001 )

2.6. Patofisiologi Cedera Kepala
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses aksekrasi- deselerasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tegkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan keras saat terjadi trauma.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjut dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuran berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial, dan perubahan neurokimiawi.





Tekanan pembuluh darah pulmonal
Kontusio laserasi
Kerusakan sel otak meningkat
Gangguan autoregulasi 
Rangsang simpatis
Stres
Aliran darah ke otak  
Tahanan vaskuler sistemik dan TD
*       Katekolamin
*       Sekresi asam lambung
Asupan nutrisi kurang
Odema otak 
Gangguan perfusi jaringan  cerebral
Cedera otak primer
Cedera otak sekunder
hypokxemia
Kelainan metabolisme
Hematoma
Cedera kepala
Rsepon biologis
Tik
Odema
Odema paru
Difusi O2 terhambat
Gangguan pola nafas
Gangguan perfusi jaringan
Hipoksemia hiperkapnea
Cardiak out put
Kebocoran cairan kapiler
Tekanan hidrostatik
Asam laktat
O2    mengakibatkan gangguan metabolisme
Mual , muntah
 


































2.7. Prosedur Diagnostic Cedera Kepala
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
a.       CT Scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
b.      MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c.       Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d.      Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e.       Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema) fragmen tulang
f.       BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g.      CSS (Cairan Serebrospinal)
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
h.      Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
i.        Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
j.        Rontgen thorak 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
k.      Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan status status respirasi.
l.        Pemeriksaan laboratorium ; hematokrit, trombosit, darah lengkap, masa protombin.

Azizah, Hilyatul Husna . 2014. Makalah Asuhan Keperawatan Cedera Kepala  http://azizahcute478.blogspot.com/2014/09/makalah-asuhan-keperawatan-cedera-kepala_99.html. diakses pada tanggal 08 mei 2015. Pukul 13.00 WIB

2.8. Manajemen Medis Cedera Kepala
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
A.       Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1.      Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.
2.      Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
B.       Pasien dengan kesadaran menurun
1.      Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatan luka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakin menurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.





2.      Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
·           Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
·           Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
·           Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
·           CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intracranial
·           Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3.      Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik. Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a.       Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
·           Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan
·           Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.


·           Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah
b.      Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
c.       Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada Dan abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial
d.       Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
·           Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT-scan ulang untuk menyingkirkan hematom
·           Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus
·           Terapi diuretic
Ø  Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
Ø  Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
·           Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
·           Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala


·           Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
e.       Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f.       Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g.      Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
·           Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
·           Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang
h.      Komplikasi sistematik
·           Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
·           Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres
·           Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
·           Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.
i.        Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. (Priangga, satria dwi. 2014. Asuhan Keperawatan Cedera Kepala. http://satriadwipriangga.blogspot.com/2014/01/asuhan-keperawatan-pada-nnf-dengan.html. diakses pada tanggal 08 mei 2015. Pukul 14.00 WIB )
2.9. Pengkajian pada klien Cedera Kepala
Pengkajian Menurut Doengoes, ME. 2001 :
a.    Pengkajian Kegawatdaruratan
1.      Primary Survey
·           Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
·           Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
·           Circulation dan hemorrhage control
Ø  Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
Ø  Kontrol Perdarahan
·           Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
·           Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
2.      Secondary Survey
·           Fokus assessment
·           Head to toe assessment


b.        Pengkajian
1.      Identitas pasien.
Identitas pasien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa dan tanggal masuk ruangan.
2.      Riwayat Kesehatan dan pemeriksaan fisik
Menurut Smeltzer & Bare, (2001), riwayat kesehatan yang perlu dikaji/ ditanyakan adalah kapan cedera terjadi? apa penyebab cedera? Peluru kecepatan tinggi? Objek apa yang terbentur kepala? Dari mana arah dan kekuatan pukulan? Apakah ada kehilangan kesadaran? Durasi periode tidak sadar? Dapatkah pasien dibangunkan? Riwayat tidak sadar atau amnesia terhadap cedera kepala menunjukkan derajat kerusakan otak yang berarti, dimana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan terjadi pemulihan kerusakan otak sekunder.
3.      Aktivitas/ Istirahat
Gejala       : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang kesimbangan
Tanda :
·           Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot palstik,
·           Penurunan kekuatan, ketahanan, keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit
·           Gangguan massa otot, perubahan tonus.
4.      Sirkulasi
Gejala       :
·           Hipotensi (syok)
·           Penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera, vaokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin.
·           Takikardi (syok/ ansietas/ nyeri)
·           Disritmia (syok) pembentukan edema jaringan
Tanda       :
·           Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi, disritmia).


5.      Integritas Ego
Gejala       :
·           Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
·           Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan.
Tanda       :          
·           Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif. Menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
6.      Eliminasi
Gejala       :
·           Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi
Tanda       :
·           Pengeluaran urine menurun atau tak ada selama fase darurat.
·           Diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi.
·           Penurunan bising usus/ tak ada
7.      Makanan
Gejala :
·           Mual, muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda :
·           Gangguan menelan, (batuk, air liur keluar, disfagia)
·           Edema jaringan umum
·           Anoreksia, mual/muntah
8.      Neurosensori
Gejala :
·           Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, bingung, baal pada ekstremitas.
·           Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya yang diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Kesemutan.

Tanda :
·           Perubahan kesadaran bisa sampai koma
·           Perubahan status mental orientasi kewaspadaan, perhatian, konsentrasi pemecahan masalah, perubahan pupil (respons terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
·           Wajah tidak simetris
·           Gangguan lemah tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese quadreplegia, postur (dekortikasi desebrasi). Kejang sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan kehilangan sensasi sebagai posisi tubuh.
·           Perubahan orientasi, efek perilaku. Penurunan refleks tendon dalam pada cedera extremitas.
9.      Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala :
·           Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama
Tanda :
·           Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
10.  Keamanan
Gejala :
·           Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda :
·           fraktur/ dislokasi
·           Gangguan penglihatan
·           Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna.
·           Tanda battle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/ hidung serebrospinal (CSS).
·           Gangguan kognitif
·           Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang kekuatan secara umum mengalami paralisis.
·           Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
11.  Interaksi Sosial.
Tanda :
·           Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartia, anomia.

12.  Pernapasan
Gejala:
·           Serak, batuk, mengi, partikel karbon dalam sputum, ketidakmampuan menelan sekresi oral, sianosis, indikasi cedera inhalasi.
Tanda :
·           Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif. Menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.

2.10.        Diagnostic Keperawatan pada klien Cedera Kepala
Diagnosa Menurut Doengoes, ME. 2001
1.         Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma
2.         Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
3.         Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
4.         Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
5.         gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan

2.11.        Intervensi Keperawatan pada Klien Cedera Kepala
Intervensi dari Doengoes, ME. 2001
1.         Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal

Intervensi
a.       Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK
Rasional : Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
b.      Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda  penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
c.       Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya
Rasional : Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik) yang menunjukkan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.
d.      Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
Rasional : Panas merupakan refleks dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolism dan O2 akan menunjang peningkatan TIK/ICP (Intracranial Pressure).
e.       Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.
Rasional : Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial.
f.       Cegah/hindarkan terjadinya valsava maneuver
Rasional : Mengurangi tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.


g.      Observasi tingkat kesadaran dengan GCS
Rasional : Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit
h.      Pemberian O2 sesuai indikasi
Rasional : Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK.
i.        Berikan cairan intravena sesuai indikasi
Rasional : Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan TIK.

2.         Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab
Intervensi
a.       Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Rasional : Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

b.      Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
c.       Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan
Rasional : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
d.      Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti
Rasional : Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.
e.       Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).
Rasional : Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.

3.         Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Intervensi
a.       Kaji keadaan jalan napas
Rasional : Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/tracheostomy tube yang berubah
b.      Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral).
Rasional : Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atau wheezing.
c.       Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam).
Rasional : Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.

d.      Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
Rasional : Higine mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.

4.         Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,
Intervensi
a.       Kaji ulang tanda-tanda vital  klien dan status relirologis klien
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp
b.      Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.
Rasional : Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang mencerminkan
c.       Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah hiperventilasi (pernafasan cheyne – stokes).
Rasional : Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguan
serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan nafas buatan.
d.      Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempit dan kedalaman persepsi
Rasional : Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak, merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
e.       Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang meningkatkan TIK

5.         gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolism
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium. 
a.       Observasi/timbang berat badan jika memungkinkan
Rasional : Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan kekurangan intake nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam otot, dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator
b.      Catat pemasukan peroral jika diindikasikan. anjurkan klien untuk makan
Rasional : Nafsu makan biasanya berkurang dan nutrisi yang masuk pun berkurang. menganjurkan klien memilih makanan yang di senangi dapat dimakan ( bila sesuai anjuran).
c.       Berikan makanan kecil dan lunak
Rasional : Mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan, dan mencegah gangguan pada lambung.
d.      Aturlah diet yang diberikan sesuaii keadaan klien
Rasional : Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat sangat diperlukan selama pemasangan ventilator untuk mempertahankan fungsi otot-otot respirasi. karbohidrat dapat berperan dan penggunaan lemak meningkat untuk mencegah terjadinya produksi co2 dan pengaturan sisa respirasi.

2.12.        Aspek Hukum pada Tindakan Pasien
Menurut D. Veronika Komalawati, SH., ”informed consent” dirumuskan sebagai ”suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Pada dasarnya Persetujuan Tindakan Medik berasal dari hak asasi pasien dalam hubungan dokter pasien yaitu:
1.      Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
2.      Hak untuk mendapatkan informasi
Dari sudut pandang dokter Persetujuan Tindakan Medik ini berkaitan dengan kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasien dan kewajiban untuk melakukan tindakan medik sesuai dengan standar profesi medik.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut :
a.       Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter.
b.      Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan.
c.       Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien. Biasanya, informed consent ini harus meliputi :
1.      Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
2.      Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
3.      Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila penyakit tida diobati
4.      Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi.
Secara umum, bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.      Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung risiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PERMENKES No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi adekuat tentang perlunya tindakan medis serta risiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2.      Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung risiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3.      Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Selain itu, Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
1.      Implied Consent, yaitu persetujuan yang dianggap telah diberikan walaupun tanpa pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dan pada keadaan darurat atau emergency. Pada keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa pasien, tindakan menyelamatkan kehidupan (life saving) tidak memerlukan Persetujuan Tindakan Medik;
2.      Expresed Consent, yaitu Persetujuan Tindakan Medik yang diberikan secara eksplisit, baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written)

( Forensik_AI_FKUI, Informed Consent (Anda Berhak Tahu Semuanya), [document on the internet]. Jakarta: 12 Februari Desember 2010. Diakses pada tanggal 07 Mei 2015, pukul 19.00 )













BAB III
LAPORAN KASUS

Mr. X tidak diketahui identitasnya tertabrak mobil di jalan raya, dibawa oleh masyarakat ke intalansi gawat darurat rumah sakit umum. Hasil pemeriksaan perawat : GCS= 7, dilatasi pupil unilateral dan hilangnya redlek cahaya, perdarahan hidung (+), perdarahan telinga (+), ekhimosis periorbital (raccoon’s eye). Dokter mengatakan bahwa terdapat tanda-tanda penekanan batang otak yang disebabkan oleh herniasi uncal. Dokter melakukan tindakan diagnosis “burr hole”, hasilnya pasien mengalami SDH (subdural hematoma). Dokter spesialis bedah saraf memutuskan pasien harus segera dilakukan kraniotomi. Perawat member tahu bahwa kesulitan menemukan keluarga pasien karena Mr. X tanpa identitas.

3.1.  Pengkajian
A.    Identitas                                    
Nama                                         :  Mr. X
Umur                                         :  -
Jenis Kelamin                           :   Laki Laki
Status Perkawinan                    :  -
Pendidikan                                :   -
Pekerjaan                                  :   -
Agama                                      :   -
No. Medrek                              :   -
Tgl Masuk                                :   -
Tgl Pengkajian                         :   -
Diagnosa Medis                       :   SDH (subdural hematoma)
Identitas Penanggung Jawab            
Nama                                       :    -
Umur                                       :     -
Jenis Kelamin                         :     -
Pendidikan                              :    -
Pekerjaan                                :     -
Hubungan Dengan Klien        :     -
Alamat                                    :     -

B.     Riwayat Penyakit
·           Keluhan Utama                      :    -
·           Riwayat penyakit Sekang      :   Mr. X tidak diketahui identitasnya tertabrak mobil di jalan raya, dibawa oleh masyarakat ke intalansi gawat darurat rumah sakit umum
·           Riwayat Penyakit Dahulu     : -
C.    Data Psikologis
-
D.    Data Sosial
-
E.     Data Spiritual
-
F.     Pemeriksaan Fisik
1.      Keadaan umum
T   : -
P   : -
R  : -
S  :  -      
Kesadaran : GCS = 7
2.      Sistem Panca Indera
Mata     :  dilatasi pupil unilateral dan hilangnya redlek cahaya, ekhimosis periorbital (raccoon’s eye).
Telinga  : perdarahan telinga (+).
Hidung  : perdarahan hidung (+)
3.      Sistem kardiovaskular
-
4.      Sistem pernafasan
-
5.      Sistem pencernaan
-
6.      Sistem endokrin
-
7.      Sistem integument dan imunitas
-
8.      Sistem musculoskeletal
-
9.      Sistem Genitourinaria
-
10.  Sistem persarafan
Terdapat tanda-tanda penekanan batang otak yagn disebabkan oleh herniasi uncal.

G.    Data Penunjang
Tindakan diagnostic burr hole, hasilnya pasien mengalami SDH (subdural hematoma).

H.    Analisa Data
No
Data
Etiologi
Masalah
1
S : -
O :
Tindakan diagnostic burr hole, hasilnya pasien mengalami SDH (subdural hematoma).
Cedera kepala

Ekstra cranial

Terputusnya kontinuitas jaringan

Perdarahan, hematoma

Perubahan sirkulasi CSS

Peningkatan TIK
Resiko tinggi peningkatan TIK
2
S : -
O : GCS = 7, dilatasi pupil unilateral dan hilangnya reflek cahaya
Cedera kepala

Cedera otak perimer

Cedera otak sekunder

Kerusakan sel otak

 rangsangan simpatis

 tahanan vaskuler sistemik dan TD

 tekanan pembuluh darah pulmonal

 tekanan hidrostatik

Kebocoran cairan kapiler

Odema paru

Difusi O2 terhambat

Ketidakefektifan pola nafas
Ketidak efektifan pola nafas
3
S : -
O : penurunan kesadaran GCS =7, terdapat tanda-tanda penekanan batang otak yang disebabkan oleh herniasi uncal.
Cedera kepala

Gangguan autoregulasi

Aliran darah ke otak

O2  mengakibatkan gangguan metabolism

Asam laktat

Oedema otak

Gangguan perfusi jaringan serebral
Gangguan perfusi jaringan sereberal
4
S : -
O : dilatasi pupil unilateral dan hilangnya redlek cahaya, perdarahan hidung (+), perdarahan telinga (+), ekhimosis periorbital (raccoon’s eye).
Cedera kepala

Jaringan otak rusak

Edema serebral

Kejang

Gangguan neurologis focal

Deficit neurologis

Gangguan persepsi sensori
Perubahan persepsi sensori


3.2.  Diagnosa Keperawatan (Diurutkan sesuai prioritas)
a.              Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan subdural hematoma.
b.             Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
c.              Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan kesadaran, penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
d.             Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau defisit neurologis. ditandai dengan dilatasi pupil unilateral dan hilangnya redlek cahaya, perdarahan hidung (+), perdarahan telinga (+), ekhimosis periorbital (raccoon’s eye).







3.3.  Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Rasional
1
Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan subdural hematoma.



dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal

1.      Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK
2.      Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam
3.      Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya
4.      Cegah/hindarkan terjadinya valsava maneuver
5.      Observasi tingkat kesadaran dengan GCS
6.      Pemberian O2 sesuai indikasi

1.    Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2.    Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda  penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3.    Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik) yang menunjukkan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.
4.    Mengurangi tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.
5.    Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit
6.    Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan

2
Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab
1.      Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
2.      Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
3.      Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan


1.      Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2.      Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
3.      Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
3
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.


Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensori, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,

1.      Kaji ulang tanda-tanda vital  klien dan status relirologis klien
2.      Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.
3.      Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah hiperventilasi (pernafasan cheyne – stokes).
4.      Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempit dan kedalaman persepsi
5.      Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai indikasi

1.      Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp.
2.      Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang mencerminkan.
3.      Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguan serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan nafas buatan.
4.      Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak, merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
5.      Menurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang meningkatkan TIK
4
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau defisit neurologis. Ditandai dengan dilatasi pupil unilateral dan hilangnya redlek cahaya, perdarahan hidung (+), perdarahan telinga (+), ekhimosis periorbital (raccoon’s eye).
Mempertahan-kan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi
1.      Kaji respons sensori terhadap raba/ sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul dan catat perubahan yang terjadi
2.      Observasi respon perilaku seperti rasa bermusuhan, menangis, afektif yang tidak sesuai, agitasi, halusinasi.
3.      Bicara dengan suara yang lembut dan pelan.
4.      Berikan keamanan pasien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bentuk latihan jalan dan lindungi cedera kepala.

1.      Informasi yang dapat dari pengkajian sangat penting untuk mengetahui tingkat kegawatan dan kerusakan otak.
2.      Respon individu mungkin berubah-ubah namun umumnya setiap emosi yang labil, frustasi, apatis dan muncul tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan dari trauma kepala.
3.      Pasien mungkin mengalami keterbatasaan perhatian/ pemahaman selama fase akut dan penyembuhan dan tindakan ini dapat membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
4.      Gangguan persepsi sensori dan buruknya kesimbangan dapat meningkatkan resiko pada pasien.

BAB IV
PENUTUP

4.1.  Kesimpulan
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak.
Etiologi Cedera Kepala adalah Trauma oleh benda tajam, Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Etiologi lainnya:
a.         Kecelakaan lalu lintas
b.         Jatuh
c.         Pukulan
d.        Kejatuhan benda
e.         Kecelakaan kerja atau industri
f.          Cedera leher
g.         Luka tembak

4.2.   Saran
Setelah pembuatan makalah ini sukses diharapkan agar mahasiswa giat membaca makalah ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari makalah ini terkait tentang meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan dengan satu sumber ilmu (materi terkait), sehingga dalam tindakan keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala.
Saran yang disampaikan kepada Mahasiswa Keperawatan adalah :
1.      Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala.
2.      Dapat menilai batasan GCS.
3.      Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien dengan cedera kepala.
4.      Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun klien, baik di rumah sakit maupun di rumah.

DAFTAR PUSTAKA

 Arief, M, Suprohaitta, Wahyu, J.K, Wiewik S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Media Aesculapius FKUI : Jakarta
 Azizah, Hilyatul Husna . 2014. Makalah Asuhan Keperawatan Cedera Kepala  http://azizahcute478.blogspot.com/2014/09/makalah-asuhan-keperawatan-cedera-kepala_99.html. diakses pada tanggal 08 mei 2015. Pukul 13.00 WIB
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3. Jakarta:EGC
Doengoes, ME. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Forensik_AI_FKUI, Informed Consent (Anda Berhak Tahu Semuanya), [document on the internet]. Jakarta: 12 Februari Desember 2010. Diakses pada tanggal 07 Mei 2015, pukul 19.00
Irmawan, Adi . 2012. Anatomi Dan Fisiologi System Syaraf. http://ademarvel.blogspot.com/2012/05/anatomi-dan-fisiologi-system-syaraf.html. diakses pada tanggal 07 Mei 2015. Pukul 19.00 WIB
mary digiulio dkk, 2012. keperawatan medical bedah,. Yogyakarta : penerbitan rapha publishing.
Priangga, satria dwi. 2014. Asuhan Keperawatan Cedera Kepala. http://satriadwipriangga.blogspot.com/2014/01/asuhan-keperawatan-pada-nnf-dengan.html. diakses pada tanggal 08 mei 2015. Pukul 14.00 WIB
Scanlon, Valarie C. 2006. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smaltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar Keperawatan medical bedah. EGC. Jakarta

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar