BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok
umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak
hanya berakibat pada tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru,
yang harus menjadi perhatian adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban
kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang menderita cedera kepala.
Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat
berbahaya dan membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita.
Sayangnya, kendati kasus terus meningkat, namun masih banyak pihak yang belum
sadar pentingnya kecepatan menolong penderita.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke
rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ).
1.2.
Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.
Untuk
memahami anatomi fisiologi cranial
2.
Untuk
memahami pengertian cedera kepala
3.
Untuk
memahami tanda dan gejala cedera kepala
4.
Untuk
memahami klasifikasi cedera kepala
5.
Untuk
memahami etiologi cedera kepala
6.
Untuk
memahami patofisiologi cedera kepala
7.
Untuk
memahami prosedur diagnostic cedera kepala
8.
Untuk
memahami manajement medis cedera kepala
9.
Untuk
memahami pengkajian pada klien cedera kepala
10. Menyusun diagnose keperawatan pada klien cedera kepala
11. Menyusun intervensi keperawatan pada klien cedera kepala
12. Menjelaskan aspek hokum pada tindakan pasien
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.
Anatomi Fisiologi
Tengkorak
terdiri atas delapan tulang kepala dan empat belas tulang wajah. Pada tengkorak
juga terdapat tiga tulang kecil di rongga telinga medial kanan dan kiri serta
tulang hioid yang menopang dasar lidah. Tulang kepala membentuk rangka otak
yang membungkus dan melindungi otak, mata dan telinga. Nama beberapa di
ataranya adalah os frontale, os parientale (dua),
os temporale (dua), os oksipitale, Os Sfenoid dan os etmoidalemerupakan
bagian dasar rangka otak dan orbit (soket) mata. Seluruh sendi pada
os cranial merupakan sendi yang tidak dapat digerakkan,yang disebut
sutura.
A. Cranium
atau Kalvaria
Cranium
dibentuk oleh beberapa tulang yang dihubungkan satu sama lain oleh tulang
bergerigi yang disebut sutura, banyaknya delapan buah dan terdiri dari 3 bagian.
a. Kubah
cranium
Terdiri dari tulang-tulang :
·
Tulang frontal
Tulang
frontal membentuk dahi, langit-langit ronggga nasal, dan langit-langit orbita
(kantong mata). Tulang frontal pada tahap kehidupan embrio terbentuk menjadi
dua belahan yang pada masa kanak-kanak awal berfungsi dengan penuh. Tubrositas
frontal adalah dua tonjolan yang berbeda ukuran dan biasanya lebih besar pada
tengkorak muda. Arkus supersiliar adalah dua lengkungan yang mencuat dan
menyatu secara medial oleh suatu elevasi halus yang disebut glabella. Tepi
supraorbital, yang terletak di bawah lengkungan supersiliar dan membentuk tepi orbita
bagian atas. Foramen supraorbital (atau takik pada beberapa tengkorak) merupakan
jalan masuk arteri dan syaraf.
·
Tulang Parietal
Tulang
parietal membentuk sisi dan langit-langit cranium. Yang terdiri atas sutura
sagital, sutura koronal, dan sutura lamboidal. Sutura sagital adalah sutura
yang menyatukan tulang parietal kiri dan kanan. Sutura koronal menyambung
tulang parietal ke tulang frontal. Sutura Lamboidal menyambung tulang parietal
ke tulang oksipital.
·
Tulang Oksipital
Tulang
kepala belakang terletak di belakang kepala pada os oksipital, terdapat sebuah
lubang cocok sekali dengan lubang yang terdapat dalam ruas tulang belakang yang
disebut foramen magnum. Foramen ini menghubungkan rongga cranial dengan rongga
spinal. Tulang
oksipital membentuk bagian dasar dan dan bagian belakang Kranium.
·
Tulang Temporal
Membentuk dasar dan sisi cranium.
b. Dasar
tengkorak
·
Os Sfenoid (Tulang baji)
Tulang
ini terdapat ditengah dasar tengkorak, bentuknya seperti kupu-kupu yang
mempunyai 3 pasang sayap. Di bagian depan terdapat sebuah rongga yang disebut
kavum sfenoidalis yang berhubungan dengan rongga hidung. Di bagian atasnya agak
meninggi dan berbentuk seperti pelana yang disebut sela tursika yaitu tempat
letaknya kelenjar buntu (hipofise).
·
Os Etmoidal (Tulang tapis)
Terletak
di sebelah depan dari os sfenoidal, diantara lekuk mata, terdiri dari tulang
tipis yang tegak dan mendatar. Bagian yang mendatar mempunyai lubang-lubang
kecil (lempeng tapis) yaitu tempat lalunya saraf pencium ke hidung sedangkan
bagian yang tegak di sebelah depannya membentuk sekat ronggga hidung. Di
samping dua tulang di atas dasar tengkorak ini juga dibentuk oleh bagian
tulang-tulang laing diantaranya tulang-tulang kepala belakang, tulang dahi dan
tulang pelipis. Adapun bentuk dari dasar tengkorak ini tidak rata tetapi
mempunyai lekukan yang terdiri dari lekukan depan, tengah, dan belakang .
c. Temporal
Temporal dibentuk oleh tulang pelipis (os
temporal) dan sebagian dari tulang dahi, tulang ubun-ubun dan tulang baji.
Tulang pelipis terdapat disebelah kiri dan kanan samping kepala dan terbagi
atas 3 bagian yaitu :
·
Bagian tulang karang (Skuamosa), yang membentuk
rongga-rongga yaitu rongga telinga tengah dan rongga telinga dalam.
·
Bagian tulang keras (os petrosum) yang
menjorok ke bagian tulang pipi dan mempunyai taju yang disebut prosesus
stiloid.
·
Bagian mastoid, terdiri dari tulang yang
mempunyai lubang-lubang halus berisi udara dan mempunyai taju, bentuknya
seperti puting susu yang disebut prosesus mastoid
B. Facial
Bones
Facial
bones terdiri atas empat belas tulang, tulang-tulang ini tidak bersentuhan
dengan otak. Tulang tersebut disatukan sutura yang tidak dapat bergerak.
a. Tulang-tulang
nasal membentuk penyangga hidung dan berartikulasi dengan septum nasal.
b. Tulang-tulang
palatum membentuk bagian posterior langit-langit mulut (langit-langit keras),
bagian tulang orbital, dan bagian rongga nasal.
c. Tulang-tulang
Zigomatik (malar) membentuk tonjolan pada tulang pipi. Setiap prosesus temporal
berartikulasi dengan prosesus zigomatikus pada tulang temporal.
d. Tulang-tulang
maksila membentuk rahang atas.
·
Prosesus alveolar, mengandung soket gigi
bagian atas.
·
Prosesus zigomatikus, memanjang ke luar
untuk bersatu dengan tepi infraorbital pada orbita. Foramen infraorbital
memperforasi maksila di setiap sisi untuk mentransmisi saraf dan pembuluh darah
ke wajah.
·
Prosesus palatines, membentuk bagian
anterior pada langit-langit keras.
·
Sinus Maksilar, yang kosong sampai ke
rongga nasal, merupakan bagian dari sinus paranasal.
e. Tulang
lakrimal, berukuran kecil dan tipis, serta terletak di antara tulang ethmoid
dan maksila pada orbita. Tulang lakrimal berisi suatu celah untuk lintasa duktus
lakrimal, yang mengalirkan air mata ke rongga nasal.
f. Tulang
Vomer, membentuk bagian tengah dari langit-langit keras diantara pallatum dan
maksila, serta turut membentuk septum nasal.
g. Konka
nasal inferior (turbinatum)
h. Mandibula
adalah tulang rahang bagian bawah.
·
Bagian alveolar berisi soket gigi bawah.
·
Ramus mandibular yang terletak di kedua
sisi rahang memiliki dua prosesus yaitu prosesus kondiloid yang berfungsi untuk
artikulasi dengan tulang temporal pada fosa mandibular dan prosesus koronoid yang
berfungsi sebagai tempat perlekatan otot temporal
Mandibula
membentuk sendi kondiloid dengan masing-masing os temporale. Sendi lain di
antara tulang wajah merupakan sutura. Maksila adalah tulang rahang atas, yang
juga membentuk bagian palatum durum anterior (langit-langit). Soket akar gigi
ditemukan pada maksila dan mandibula
(Scanlon, 2007).
2.2. Pengertian
Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak
yang disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner
& Soddarth, 2002 )
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara
penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari
kecelakaan jalan raya ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
2.3.
Tanda dan Gejala Cedera Kepala
Tanda dan Gejala Cedera Kepala (Arief,
M, Suprohaitta, 2000)
a.
Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh
peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola
pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.
b.
Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat
kerusakan pada area motorik otak.
c.
Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan
kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK
d.
Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak
mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali
e.
Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang
mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk
menggunakan bahasa.
Tanda-tanda dan gejala ( mary digiulio dkk, keperawatan
medical bedah, 2012)
a.
Sakit
kepala karena trauma langsung dan atau meningkatnya tekanan intracranial
b.
Disorientasi
atau perubahan kognitif
c.
Perubahan
dalam berbicara
d.
Perubahan
dalam gerakan motorik
e.
Mual
dan muntah karena meningkatnya tekanan intracranial
f.
Ukuran
pupil tidak sama-penting untuk menentukan apakah terkait dengan perubahan
neurologis atau apakah pasien mempunyai ukuran pupil berbeda
g.
Berkurangnya
atau tiddak adanya reaksi pupil terkait dengan kompromi neurologis
h.
Menurunya
tingkat kesadaran atau hilangnya kesadaran
i.
Hilangnya
ingatan (amnesia)
2.4.
Klasifikasi Cedera Kepala (Suzanne C. 2001)
a. Berdasarkan
kerusakan jaringan otak
·
Kamosia serebri (geger otak) gangguan
neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran
kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia retrogarde, mual, muntah,
nyeri kepala.
·
Kontusio serebri (memar) gangguan fungsi
neurologik disertai kerusakan jaringan otak , tetapi kontinuitas jaringan masih
utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit
·
Laserosio serebri, gangguan fungsi
neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka,
masa otak terkelupas keluar dari rongga intrakaranial.
b. Berdasarkan
berat Ringannya
cedera
·
Cidera kepala ringan : jika GCS antara
13- 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat
kontrusio/ hematom.
·
Cedera kepala sedang : jika nilai GCS
antara 9- 12 hilang kesadaran antara 30 menit sampai dengan 24 jam, dapat
disertai fraktur tengkorak disorientasi ringan.
·
Cedera kepala berat : jika GCS antara 3-
8 hilang kesadaran lebih dar 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau
adanya hematom, edema serebral.
2.5.
Etiologi Cedera Kepala
a.
Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan
cedera setempat dan menimbulkan
cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak
atau hernia.
b.
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya
menyebar secara luas dan terjadi dalam
4 bentuk : cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
( Suzanne C. 2001 )
2.6.
Patofisiologi Cedera Kepala
Pada cedera
kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses aksekrasi- deselerasi gerakan
kepala.
Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tegkorak dan daerah sekitarnya
disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan
terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan keras saat
terjadi trauma.
Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjut dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuran berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial, dan
perubahan neurokimiawi.
Tekanan
pembuluh darah pulmonal
|
Kontusio laserasi
|
Kerusakan sel otak meningkat
|
Gangguan autoregulasi
|
Rangsang simpatis
|
Stres
|
Aliran darah ke otak
|
Tahanan vaskuler sistemik dan TD
|
Katekolamin
Sekresi asam lambung
|
Asupan nutrisi
kurang
|
Odema otak
|
Gangguan perfusi
jaringan cerebral
|
Cedera otak
primer
|
Cedera otak
sekunder
|
hypokxemia
|
Kelainan
metabolisme
|
Hematoma
|
Cedera kepala
|
Rsepon biologis
|
Tik
|
Odema
|
Odema paru
|
Difusi O2
terhambat
|
Gangguan pola
nafas
|
Gangguan perfusi
jaringan
|
Hipoksemia
hiperkapnea
|
Cardiak out put
|
Kebocoran cairan
kapiler
|
Tekanan
hidrostatik
|
Asam laktat
|
O2 mengakibatkan gangguan metabolisme
|
Mual , muntah
|
2.7.
Prosedur Diagnostic Cedera Kepala
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien
dengan cedera kepala meliputi :
a.
CT Scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan,
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
b.
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa kontras
radio aktif
c.
Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d.
Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e.
Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan/edema) fragmen tulang
f.
BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g.
CSS (Cairan Serebrospinal)
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid
h.
Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan intracranial
i.
Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran
j.
Rontgen thorak 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan
pada area pleural.
k.
Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes
diagnostik untuk menentukan status status respirasi.
l.
Pemeriksaan laboratorium ; hematokrit, trombosit,
darah lengkap, masa protombin.
Azizah,
Hilyatul Husna . 2014. Makalah
Asuhan Keperawatan Cedera Kepala http://azizahcute478.blogspot.com/2014/09/makalah-asuhan-keperawatan-cedera-kepala_99.html.
diakses pada tanggal 08 mei 2015. Pukul 13.00 WIB
2.8.
Manajemen Medis Cedera Kepala
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan
atas dasar beratnya cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal
dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli
saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan
cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan,
selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat
darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU,
sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan
sebagainya.
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala
ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
A.
Pasien
dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien
yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1.
Simple
head injury (SHI)
Pasien
mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun
gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi
kesadaran.
2.
Kesadaran
terganggu sesaat
Pasien
mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan
penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
B.
Pasien
dengan kesadaran menurun
1.
Cedera
kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran
disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral.
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatan luka, dibuat foto kepala. CT Scan
kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid
interval, pada follow up kesadaran semakin menurun atau timbul lateralisasi.
Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.
2.
Cedera
kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien
dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu
urutan tindakannya sebagai berikut:
·
Periksa
dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
·
Periksa
singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain.
Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
·
Foto
kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
·
CT
Scan kepala bila curiga adanya hematom intracranial
·
Observasi
fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3.
Cedera
kepala berat (CGS=3-8)
Penderita
ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping
kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik. Urutan tindakan menurut
prioritas adalah sebagai berikut:
a.
Resusitasi
jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien dengan cedera kepala
berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan
kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
·
Jalan
nafas (Air way)
Jalan
nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan
sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan
·
Pernafasan
(Breathing)
Gangguan
pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan
cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab
perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi.
Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.
·
Sirkulasi
(Circulation)
Hipotensi
menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang
hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor
ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah
b.
Pemeriksaan
fisik
Setalah
ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit
fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini
dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah
satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus
segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
c.
Pemeriksaan
radiologi
Dibuat
foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada Dan abdomen dibuat
atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau
bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial
d.
Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian
TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK.
TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
·
Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi
vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi
dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas
dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi
selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas
darah dan lakukan CT-scan ulang untuk menyingkirkan hematom
·
Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek
dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus
·
Terapi
diuretic
Ø
Diuretik
osmotik (manitol 20%)
Cairan
ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar
otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis
pemberiannya harus dihentikan.
Cara
pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB,
setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
Ø
Loop
diuretik (Furosemid)
Frosemid
dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal
dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan
manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
·
Terapi
barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua
jenis terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis
sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
·
Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala
·
Posisi
Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan
bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan
posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak
terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
e.
Keseimbangan
cairan elektrolit
Pada
saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri
dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan
cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid
seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung
glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan
cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali
normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai
makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi
gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan,
misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of
inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau
kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f.
Nutrisi
Pada
cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh
karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan
bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian
cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak
2000-3000 kalori/hari
g.
Epilepsi/kejang
Epilepsi
yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan
yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi
lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada
fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang
panjang.
Pengobatan:
·
Kejang
pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
·
Status
epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung
berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam
dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak
berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18
mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500
mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat
dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial
dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang
h.
Komplikasi
sistematik
·
Infeksi:
profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada
fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
·
Demam:
kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah kerusakan
sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu
harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan
suhu dengan kompres
·
Gastrointestinal:
pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain,
10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat dicegah dengan pemberian
antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
·
Kelainan
hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi
trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat
sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.
i.
Neuroproteksi
Adanya
waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan
saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. (Priangga, satria dwi. 2014. Asuhan Keperawatan Cedera Kepala. http://satriadwipriangga.blogspot.com/2014/01/asuhan-keperawatan-pada-nnf-dengan.html. diakses pada tanggal 08 mei 2015. Pukul 14.00 WIB )
2.9.
Pengkajian pada klien Cedera Kepala
Pengkajian
Menurut Doengoes, ME. 2001 :
a.
Pengkajian Kegawatdaruratan
1.
Primary Survey
·
Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai
adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin
lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari
leher.
·
Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak
menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas
mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma.
·
Circulation dan hemorrhage
control
Ø Volume darah dan Curah jantung
Kaji
perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh
hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
Ø Kontrol Perdarahan
·
Disability
Penilaian neurologis secara
cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
·
Exposure dan Environment
control
Dilakukan pemeriksaan fisik
head toe toe untuk memeriksa jejas.
2.
Secondary Survey
·
Fokus assessment
·
Head to toe assessment
b.
Pengkajian
1.
Identitas pasien.
Identitas pasien meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa dan tanggal masuk
ruangan.
2.
Riwayat Kesehatan dan pemeriksaan fisik
Menurut Smeltzer & Bare, (2001), riwayat kesehatan
yang perlu dikaji/ ditanyakan adalah kapan cedera terjadi? apa penyebab cedera?
Peluru kecepatan tinggi? Objek apa yang terbentur kepala? Dari mana arah dan
kekuatan pukulan? Apakah ada kehilangan kesadaran? Durasi periode tidak sadar?
Dapatkah pasien dibangunkan? Riwayat tidak sadar atau amnesia terhadap cedera
kepala menunjukkan derajat kerusakan otak yang berarti, dimana perubahan
selanjutnya dapat menunjukkan terjadi pemulihan kerusakan otak sekunder.
3.
Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang
kesimbangan
Tanda :
·
Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak
tegap, masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus
otot, otot palstik,
·
Penurunan kekuatan, ketahanan, keterbatasan rentang
gerak pada area yang sakit
·
Gangguan massa otot, perubahan tonus.
4.
Sirkulasi
Gejala :
·
Hipotensi
(syok)
·
Penurunan nadi
perifer distal pada ekstremitas yang cedera, vaokontriksi perifer umum dengan kehilangan
nadi, kulit putih dan dingin.
·
Takikardi
(syok/ ansietas/ nyeri)
·
Disritmia
(syok) pembentukan edema jaringan
Tanda :
·
Perubahan
tekanan darah atau normal (hipertensi),
perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi, disritmia).
5. Integritas
Ego
Gejala :
·
Perubahan tingkah laku atau
kepribadian (tenang atau dramatis)
·
Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan.
Tanda :
·
Cemas, mudah
tersinggung, delirium, agitasi,
bingung, depresi dan impulsif. Menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik
diri, marah.
6. Eliminasi
Gejala :
·
Inkontenensia
kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi
Tanda :
·
Pengeluaran
urine menurun atau tak ada selama fase darurat.
·
Diuresis
(setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi.
·
Penurunan
bising usus/ tak ada
7. Makanan
Gejala :
·
Mual, muntah
dan mengalami perubahan selera
Tanda :
·
Gangguan menelan, (batuk, air liur keluar, disfagia)
·
Edema jaringan umum
·
Anoreksia,
mual/muntah
8. Neurosensori
Gejala :
·
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, bingung, baal pada ekstremitas.
·
Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya yang diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Kesemutan.
Tanda :
·
Perubahan kesadaran bisa sampai koma
·
Perubahan status mental orientasi kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi pemecahan masalah, perubahan pupil (respons terhadap
cahaya, simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti kehilangan
pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
·
Wajah tidak simetris
·
Gangguan lemah tidak seimbang, refleks tendon dalam
tidak ada atau lemah, apraksia,
hemiparese quadreplegia, postur (dekortikasi
desebrasi). Kejang sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan
kehilangan sensasi sebagai posisi tubuh.
·
Perubahan orientasi, efek perilaku. Penurunan refleks
tendon dalam pada cedera extremitas.
9. Nyeri/
ketidaknyamanan
Gejala :
·
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda
biasanya lama
Tanda :
·
Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
10. Keamanan
Gejala :
·
Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda :
·
fraktur/ dislokasi
·
Gangguan penglihatan
·
Kulit laserasi,
abrasi, perubahan warna.
·
Tanda battle di
sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/ hidung
serebrospinal (CSS).
·
Gangguan
kognitif
·
Gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang kekuatan secara umum mengalami paralisis.
·
Demam, gangguan
dalam regulasi suhu tubuh.
11. Interaksi
Sosial.
Tanda :
·
Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartia, anomia.
12. Pernapasan
Gejala:
·
Serak, batuk, mengi, partikel karbon dalam sputum,
ketidakmampuan menelan sekresi oral, sianosis, indikasi cedera inhalasi.
Tanda :
·
Cemas, mudah
tersinggung, delirium, agitasi,
bingung, depresi dan impulsif. Menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik
diri, marah.
2.10.
Diagnostic Keperawatan pada klien Cedera Kepala
Diagnosa
Menurut Doengoes, ME. 2001
1.
Resiko
tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral
hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma
2.
Ketidakefektifnya
pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan
otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan
perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan
ventilator.
3.
Tidak
efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan
pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif
sekunder akibat nyeri dan keletihan.
4.
Perubahan
perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,
nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
5.
gangguan
nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan
2.11.
Intervensi Keperawatan pada Klien Cedera Kepala
Intervensi
dari Doengoes, ME. 2001
1.
Resiko
tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral
hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala,
mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas
normal
Intervensi
a.
Kaji faktor
penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan
dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK
Rasional : Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologis/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau
tindakan pembedahan.
b.
Memonitor
tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan
baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari
autoregulator kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi local
vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolic) maka
dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan
tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK.
c.
Evaluasi
pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya
Rasional : Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan
tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur
oleh saraf III cranial (okulomotorik) yang menunjukkan keseimbangan antara
parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi
dari saraf cranial II dan III.
d.
Monitor
temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
Rasional :
Panas merupakan refleks dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolism dan
O2 akan menunjang peningkatan TIK/ICP (Intracranial Pressure).
e.
Pertahankan
kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari
penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.
Rasional : Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada
vena jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena
serebral), untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial.
f.
Cegah/hindarkan
terjadinya valsava maneuver
Rasional : Mengurangi tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga
menghindari peningkatan TIK.
g.
Observasi
tingkat kesadaran dengan GCS
Rasional : Perubahan kesadaran
menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit
h. Pemberian O2 sesuai indikasi
Rasional : Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi
serebral, volume darah, dan menaikkan TIK.
i.
Berikan
cairan intravena sesuai indikasi
Rasional : Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk mengurangi edema
serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan TIK.
2.
Ketidakefektifnya
pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot
pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan
perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola
napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif,
mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi
faktor-faktor penyebab
Intervensi
a.
Berikan
posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik
kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Rasional : Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan
ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
b.
Observasi
fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi
sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya
syok sehubungan dengan hipoksia.
c.
Jelaskan
pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan
Rasional : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana terapeutik.
d.
Bantulah
klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti
Rasional : Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas dalam, napas
pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu
memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.
e.
Perhatikan
letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan konsentrasi oksigen,
memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis
batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).
Rasional : Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan
perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai hasil
diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
3.
Tidak
efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan
pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif
sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan
jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar,
tracheal tube bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi
penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Intervensi
a.
Kaji keadaan
jalan napas
Rasional : Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari
endotracheal/tracheostomy tube yang berubah
b.
Evaluasi
pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral).
Rasional : Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar
dari paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian
bawah tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan
perubahan suara napas seperti ronkhi atau wheezing.
c.
Atur/ubah
posisi klien secara teratur (tiap 2jam).
Rasional : Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru,
mengurangi risiko atelektasis.
d.
Dorong atau
berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
Rasional : Higine mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
4.
Perubahan
perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,
nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi
neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi
kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan
tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,
Intervensi
a.
Kaji ulang
tanda-tanda vital klien dan status
relirologis klien
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangankerusakan ssp
b.
Monitor
Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.
Rasional : Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia
dapat timbul yang mencerminkan
c.
Monitor
pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah
hiperventilasi (pernafasan cheyne – stokes).
Rasional : Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguan
serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan nafas buatan.
serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan nafas buatan.
d.
Kaji perubahan
pada penglihatan ( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempit dan
kedalaman persepsi
Rasional : Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh kerusakan
mikroskopik pada otak, merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan
mempngaruhi pilihan intervensi
e.
Kolaborasi
pemberian O2 tambahan sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan
vol darah serebral yang meningkatkan TIK
5.
gangguan
nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan
mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolism
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh,
memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium.
a.
Observasi/timbang
berat badan jika memungkinkan
Rasional : Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan kekurangan intake
nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam
otot, dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator
b.
Catat
pemasukan peroral jika diindikasikan. anjurkan klien untuk makan
Rasional : Nafsu makan biasanya berkurang dan nutrisi yang masuk pun
berkurang. menganjurkan klien memilih makanan yang di senangi dapat dimakan (
bila sesuai anjuran).
c.
Berikan
makanan kecil dan lunak
Rasional : Mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan, dan
mencegah gangguan pada lambung.
d.
Aturlah diet
yang diberikan sesuaii keadaan klien
Rasional : Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat sangat diperlukan
selama pemasangan ventilator untuk mempertahankan fungsi otot-otot respirasi.
karbohidrat dapat berperan dan penggunaan lemak meningkat untuk mencegah
terjadinya produksi co2 dan pengaturan sisa respirasi.
2.12.
Aspek Hukum pada Tindakan Pasien
Menurut D.
Veronika Komalawati, SH., ”informed consent” dirumuskan sebagai
”suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya
medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai
segala risiko yang mungkin terjadi.
Di Indonesia
perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent”
melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi
dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau
Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di
Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh
sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu
meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum
tindakan operasi itu dilakukan.
Pada
dasarnya Persetujuan Tindakan Medik berasal dari hak asasi pasien dalam
hubungan dokter pasien yaitu:
1. Hak untuk
menentukan nasibnya sendiri
2. Hak untuk
mendapatkan informasi
Dari sudut
pandang dokter Persetujuan Tindakan Medik ini berkaitan dengan kewajiban dokter
untuk memberikan informasi kepada pasien dan kewajiban untuk melakukan tindakan
medik sesuai dengan standar profesi medik.
Suatu
informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga)
unsur sebagai berikut :
a.
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh
dokter.
b.
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan.
c.
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam
memberikan persetujuan
Ruang
lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis
pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung
jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien. Biasanya,
informed consent ini harus meliputi :
1.
Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai
tindakan, terapi dan penyakitnya
2.
Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang
diharapkan dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
3.
Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif
yang ada dan akibat apabila penyakit tida diobati
4.
Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila
menerima atau menolak terapi.
Secara umum,
bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis
dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.
Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk
tindakan medis yang mengandung risiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam
PERMENKES No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung
risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta risiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2.
Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung risiko tinggi, yang
diberikan oleh pihak pasien;
3.
Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui
isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya,
langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan
dilakukan terhadap dirinya.
Selain itu,
Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) dapat diklasifikasikan menjadi 2,
yaitu :
1.
Implied Consent, yaitu persetujuan yang dianggap telah
diberikan walaupun tanpa pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dan pada
keadaan darurat atau emergency. Pada keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa
pasien, tindakan menyelamatkan kehidupan (life saving) tidak memerlukan
Persetujuan Tindakan Medik;
2.
Expresed Consent, yaitu Persetujuan Tindakan Medik
yang diberikan secara eksplisit, baik secara lisan (oral) maupun tertulis
(written)
( Forensik_AI_FKUI,
Informed Consent (Anda Berhak Tahu
Semuanya), [document on the internet]. Jakarta: 12 Februari Desember 2010. Diakses pada tanggal 07 Mei 2015, pukul 19.00 )
BAB
III
LAPORAN
KASUS
Mr. X tidak diketahui identitasnya tertabrak mobil di
jalan raya, dibawa oleh masyarakat ke intalansi gawat darurat rumah sakit umum.
Hasil pemeriksaan perawat : GCS= 7, dilatasi pupil unilateral dan hilangnya
redlek cahaya, perdarahan hidung (+), perdarahan telinga (+), ekhimosis periorbital
(raccoon’s eye). Dokter mengatakan bahwa terdapat tanda-tanda penekanan batang
otak yang disebabkan oleh herniasi uncal. Dokter melakukan tindakan diagnosis
“burr hole”, hasilnya pasien mengalami SDH (subdural hematoma). Dokter
spesialis bedah saraf memutuskan pasien harus segera dilakukan kraniotomi.
Perawat member tahu bahwa kesulitan menemukan keluarga pasien karena Mr. X
tanpa identitas.
3.1. Pengkajian
A.
Identitas
Nama : Mr. X
Umur : -
Jenis Kelamin : Laki Laki
Status Perkawinan : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
Agama : -
No. Medrek : -
Tgl Masuk : -
Tgl Pengkajian : -
Diagnosa Medis : SDH (subdural hematoma)
Identitas Penanggung Jawab
Nama : -
Umur : -
Jenis Kelamin : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
Hubungan Dengan Klien :
-
Alamat : -
B.
Riwayat
Penyakit
·
Keluhan Utama : -
·
Riwayat penyakit Sekang : Mr. X tidak
diketahui identitasnya tertabrak mobil di jalan raya, dibawa oleh masyarakat ke
intalansi gawat darurat rumah sakit umum
·
Riwayat Penyakit Dahulu : -
C.
Data
Psikologis
-
D.
Data
Sosial
-
E.
Data
Spiritual
-
F.
Pemeriksaan
Fisik
1. Keadaan
umum
T
: -
P
: -
R
: -
S : -
Kesadaran : GCS = 7
2. Sistem
Panca Indera
Mata : dilatasi pupil unilateral dan hilangnya redlek cahaya,
ekhimosis periorbital (raccoon’s eye).
Telinga : perdarahan telinga (+).
Hidung : perdarahan hidung (+)
3. Sistem
kardiovaskular
-
4. Sistem
pernafasan
-
5. Sistem
pencernaan
-
6. Sistem
endokrin
-
7. Sistem
integument dan imunitas
-
8. Sistem
musculoskeletal
-
9. Sistem
Genitourinaria
-
10. Sistem
persarafan
Terdapat
tanda-tanda penekanan batang otak yagn disebabkan oleh herniasi uncal.
G.
Data
Penunjang
Tindakan
diagnostic burr hole, hasilnya pasien mengalami SDH (subdural hematoma).
H.
Analisa
Data
No
|
Data
|
Etiologi
|
Masalah
|
1
|
S : -
O :
Tindakan diagnostic burr hole, hasilnya pasien mengalami SDH (subdural
hematoma).
|
Cedera kepala
Ekstra cranial
Terputusnya
kontinuitas jaringan
Perdarahan,
hematoma
Perubahan
sirkulasi CSS
Peningkatan TIK
|
Resiko
tinggi peningkatan TIK
|
2
|
S : -
O : GCS = 7, dilatasi pupil unilateral dan hilangnya reflek cahaya
|
Cedera kepala
Cedera otak
perimer
Cedera otak sekunder
Kerusakan sel
otak
rangsangan simpatis
tahanan vaskuler sistemik dan
TD
tekanan pembuluh darah pulmonal
tekanan hidrostatik
Kebocoran
cairan kapiler
Odema paru
Difusi O2 terhambat
Ketidakefektifan pola nafas
|
Ketidak efektifan pola nafas
|
3
|
S : -
O : penurunan kesadaran GCS =7, terdapat tanda-tanda
penekanan batang otak yang disebabkan oleh herniasi uncal.
|
Cedera kepala
Gangguan
autoregulasi
Aliran darah
ke otak
O2
mengakibatkan gangguan
metabolism
Asam laktat
Oedema otak
Gangguan perfusi jaringan serebral
|
Gangguan perfusi jaringan sereberal
|
4
|
S : -
O : dilatasi pupil unilateral dan hilangnya redlek
cahaya, perdarahan hidung (+), perdarahan telinga (+), ekhimosis periorbital
(raccoon’s eye).
|
Cedera kepala
Jaringan otak rusak
Edema serebral
Kejang
Gangguan
neurologis focal
Deficit
neurologis
Gangguan persepsi sensori
|
Perubahan persepsi sensori
|
3.2. Diagnosa Keperawatan (Diurutkan sesuai
prioritas)
a.
Resiko
tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan subdural hematoma.
b.
Ketidakefektifnya
pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan
otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan
perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan
ventilator.
c.
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan kesadaran, penghentian
aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik /
hipoksia.
d.
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau
defisit neurologis. ditandai
dengan dilatasi pupil unilateral dan hilangnya redlek cahaya, perdarahan hidung
(+), perdarahan telinga (+), ekhimosis periorbital (raccoon’s eye).
3.3. Intervensi
Keperawatan
No
|
Diagnosa
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Resiko
tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan subdural hematoma.
|
dalam
waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria
hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan
muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal
|
1.
Kaji
faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi
jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK
2.
Memonitor
tanda-tanda vital tiap 4 jam
3.
Evaluasi
pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya
4.
Cegah/hindarkan
terjadinya valsava maneuver
5.
Observasi
tingkat kesadaran dengan GCS
6.
Pemberian
O2 sesuai indikasi
|
1.
Deteksi
dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/tanda-tanda
kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2.
Suatu
keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi
ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator
kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah
serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan
peningkatan tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan darah,
bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3.
Reaksi
pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III
cranial (okulomotorik) yang menunjukkan keseimbangan antara parasimpatis dan
simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf
cranial II dan III.
4.
Mengurangi
tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.
5.
Perubahan
kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan
perkembangan penyakit
6.
Mengurangi
hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah,
dan menaikkan
|
2
|
Ketidakefektifnya
pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan
otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan
perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan
ventilator.
|
Dalam
waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali
efektif.
Kriteria
hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab
|
1.
Berikan
posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik
kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
2.
Observasi
fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
3.
Jelaskan
pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan
|
1.
Meningkatkan
inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang
tidak sakit.
2.
Distress
pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress
fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan
hipoksia.
3.
Pengetahuan
apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.
|
3
|
Gangguan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema
serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
|
Dalam
waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d
minimalkan /distabilkan.
Kriteria
hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif
dan motorik/sensori, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada
tanda-tanda peningktan TIK,
|
1.
Kaji ulang
tanda-tanda vital klien dan status
relirologis klien
2.
Monitor
Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.
3.
Monitor
pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah
hiperventilasi (pernafasan cheyne – stokes).
4.
Kaji
perubahan pada penglihatan ( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempit
dan kedalaman persepsi
5.
Kolaborasi
pemberian O2 tambahan sesuai indikasi
|
1.
Mengkaji
adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp.
2.
Perubahan
pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang
mencerminkan.
3.
Nafas
tidak teratur menunjukkan adanya gangguan serebral/ peningkatan TIK dan
memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan nafas
buatan.
4.
Gangguan
penglihatan dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak, merupakan
konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
5.
Menurunkan
hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang
meningkatkan TIK
|
4
|
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau
defisit neurologis. Ditandai dengan dilatasi pupil unilateral dan hilangnya redlek cahaya, perdarahan
hidung (+), perdarahan telinga (+), ekhimosis periorbital (raccoon’s eye).
|
Mempertahan-kan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi
|
1. Kaji
respons sensori terhadap raba/ sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul
dan catat perubahan yang terjadi
2. Observasi
respon perilaku seperti rasa bermusuhan, menangis, afektif yang tidak sesuai,
agitasi, halusinasi.
3. Bicara dengan
suara yang lembut dan pelan.
4.
Berikan keamanan pasien dengan
pengamanan sisi tempat tidur, bentuk latihan jalan dan lindungi cedera
kepala.
|
1.
Informasi yang dapat dari pengkajian
sangat penting untuk mengetahui tingkat kegawatan dan kerusakan otak.
2.
Respon individu mungkin berubah-ubah
namun umumnya setiap emosi yang labil, frustasi, apatis dan muncul tingkah
laku impulsif selama proses penyembuhan dari trauma kepala.
3.
Pasien mungkin mengalami
keterbatasaan perhatian/ pemahaman selama fase akut dan penyembuhan dan
tindakan ini dapat membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
4.
Gangguan persepsi sensori dan
buruknya kesimbangan dapat meningkatkan resiko pada pasien.
|
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Cedera
kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak
tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak.
Etiologi Cedera Kepala adalah Trauma oleh benda
tajam, Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Etiologi lainnya:
a.
Kecelakaan lalu lintas
b.
Jatuh
c.
Pukulan
d.
Kejatuhan benda
e.
Kecelakaan kerja atau industri
f.
Cedera leher
g.
Luka tembak
4.2. Saran
Setelah pembuatan
makalah ini sukses diharapkan agar mahasiswa giat membaca makalah ini, dan
mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari makalah ini terkait tentang meteri
dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan dengan satu sumber ilmu (materi
terkait), sehingga dalam tindakan keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan
pada klien dengan cedera kepala.
Saran yang
disampaikan kepada Mahasiswa Keperawatan adalah :
1.
Dapat menerapkan asuhan keperawatan
pada klien dengan cedera kepala.
2.
Dapat menilai batasan GCS.
3.
Lebih teliti dalam memberikan
intervensi keperawatan kepada klien dengan cedera kepala.
4.
Dapat memberikan pendidikan kesehatan
terhadap keluarga maupun klien, baik di rumah sakit maupun di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, M, Suprohaitta,
Wahyu, J.K, Wiewik S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Media
Aesculapius FKUI : Jakarta
Azizah, Hilyatul Husna . 2014. Makalah Asuhan Keperawatan Cedera Kepala http://azizahcute478.blogspot.com/2014/09/makalah-asuhan-keperawatan-cedera-kepala_99.html.
diakses pada tanggal 08 mei 2015. Pukul 13.00 WIB
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3. Jakarta:EGC
Doengoes, ME. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Forensik_AI_FKUI, Informed Consent
(Anda Berhak Tahu Semuanya), [document on the internet]. Jakarta: 12 Februari Desember 2010. Diakses
pada tanggal 07 Mei 2015, pukul 19.00
Irmawan, Adi . 2012. Anatomi Dan
Fisiologi System Syaraf. http://ademarvel.blogspot.com/2012/05/anatomi-dan-fisiologi-system-syaraf.html.
diakses pada tanggal 07 Mei 2015. Pukul 19.00 WIB
mary digiulio dkk, 2012. keperawatan
medical bedah,. Yogyakarta : penerbitan rapha publishing.
Priangga, satria dwi. 2014.
Asuhan Keperawatan Cedera Kepala. http://satriadwipriangga.blogspot.com/2014/01/asuhan-keperawatan-pada-nnf-dengan.html. diakses pada tanggal 08 mei 2015. Pukul 14.00 WIB
Scanlon, Valarie C. 2006. Buku Ajar
Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smaltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar Keperawatan medical bedah.
EGC. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar